Hari senin segera datang,
seperti tak bosan-bosannya melahap pekan. Pekerjaan rumah, tugas, proyek, dan
quiz sudah menganga bagai macan yang mau menerka. Jumlahnya pun tak main-main,
sebanyak rumput hijau di padang yang subur. Itulah yang hal berat yang dihadapi
Radenzul. Ia memang pintar, cerdas, berbakat, dan rupawan. Namun, bagaimana pun
juga ia tetap manusia yang makan nasi dan garam dengan segala keterbatasannya.
Sesungguhnya ia bukan pemalas, namun ia hanya lupa akan tugas-tugas di hari
seninnya ini karena cuaca yang buruk di akhir pekan ini, hingga akhirnya ia
hanya menghabiskan waktunya untuk mendengkur.
Akhirnya Senin berhasil
melahap pekan. Hmm, capek memang ya kalau sudah bertemu Senin. Tapi ini takdir.
Ia pun menyambut hari Senin ini dengan sukacita, meski tugas sebanyak rumput di
padang hijau belum dikerjakannya. Sedih memang jika mendengar hal tersebut.
Mungkin dunia memang jahat karena mengizinkannya untuk terbengkalai, tapi
memang itu kenyataanya dan biarlah itu menjadi kesukarannya. Di sisi lain, di
tempat yang berbeda dan di waktu yang berbeda di hari yang sama, ia tanpa
sengaja bertemu dengan sesosok manusia berambut hitam pekat terurai hingga
punggungnya di taman sekolah. Kulitnya coklat sawo agak matang, matanya hitam
kecoklatan, perawakannya cukup semampai, dan rupanya cantik jelita bak Juwita
Bahar. Ternyata ia adalah adik kelasnya. Mungkin karena hal itu, maka Radenzul
tidak yerlalu mengenalnya. Secara tegak lurus dari lintasan setapaknya, ia
menghampiri gadis muda tersebut yang duduk dengan teman kakak tingkatnya.
Dengan nada rendah dan lembut Radenzul menggoda. Gadis muda tersebut hanya
membalas dengan senyuman malu sambil menundukan wajahnya. Radenzul lalu
melintas sekilas dan langsung meninggalkan. Betapa meriahnya hati Radenzul pada
saat itu.
Lima bulan berlalu, kejadian
lima bulan silam sudah mulai pudar dari ingatan Radenzul. Tapi tidak bagi si
gadis belia yang digodanya lima bulan silam. Dengan langkah pelan sepoi nan
anggun, gadis tersebut dengan alasan yang belum diketahui datang ke kelas
Radenzul dan mencarinya. Seperti ikan mas yang datang ke sarang piranha,
layaknya seekor ikan yang menjemput ajalnya, dan bagaikan sarden yang masuk ke
jaring-jaring nelayan, begitulah gadis itu berada. Ia datang ke sarang kakak
tingkatnya tanpa ditemani satu orang pun sambil mengetuk pintu yang bertujuan
mencari Radenzul. Sebuah kebetulan yang sangat luar biasa, Radenzul ada di
kelas dan menghampiri gadis itu. Mereka pun berdua layaknya sejoli yang sedang
berbunga duduk berdua di bangku kayu depan kelas Radenzul. Ternyata, maksud
kedatangan gadis itu untuk mewawancarainya, karena gadis itu adalah salah
seorang anggota jurnalistik dan Radenzul sendiri adalah objek wawancara untuk
majalah sekolahnya dalam edisi bulan ini. Wawancara langsung dilakukan, kurang
lebih dua puluh menit mereka terlarut dalam pembicaraan tanya jawab yang
hangat. Akhirnya, Radenzul menawarkan nomor hpnya kepada gadis itu, harapannya
ada pertanyaan yang terlewat dan mereka bisa bersua kembali. Namun faktanya,
semua sudah lengkap.
Mereka tidak bertemu kembali.
Mereka hanya berpapasan satu sama lain dan saling menunduk. Dalam relung
hatinya, Radenzul ingin menemui gadis itu dan menjalin ikatan cinta. Namun apa
daya, bagaikan si cebol yang merindukan bulan. Keberaniannya tak sebaik
perawakannya. Ia pun hanya mampu memandangnya sedekat gambar di salah satu akun
media sosialnya. Begitu pula sang gadis. Hingga sampai waktu kelulusan tiba
bagi Radenzul, kasih antara mereka hanya sebatas papasan semu.
0 komentar:
Post a Comment