February 22, 2014

Bicaralah

Hari senin segera datang, seperti tak bosan-bosannya melahap pekan. Pekerjaan rumah, tugas, proyek, dan quiz sudah menganga bagai macan yang mau menerka. Jumlahnya pun tak main-main, sebanyak rumput hijau di padang yang subur. Itulah yang hal berat yang dihadapi Radenzul. Ia memang pintar, cerdas, berbakat, dan rupawan. Namun, bagaimana pun juga ia tetap manusia yang makan nasi dan garam dengan segala keterbatasannya. Sesungguhnya ia bukan pemalas, namun ia hanya lupa akan tugas-tugas di hari seninnya ini karena cuaca yang buruk di akhir pekan ini, hingga akhirnya ia hanya menghabiskan waktunya untuk mendengkur.

Akhirnya Senin berhasil melahap pekan. Hmm, capek memang ya kalau sudah bertemu Senin. Tapi ini takdir. Ia pun menyambut hari Senin ini dengan sukacita, meski tugas sebanyak rumput di padang hijau belum dikerjakannya. Sedih memang jika mendengar hal tersebut. Mungkin dunia memang jahat karena mengizinkannya untuk terbengkalai, tapi memang itu kenyataanya dan biarlah itu menjadi kesukarannya. Di sisi lain, di tempat yang berbeda dan di waktu yang berbeda di hari yang sama, ia tanpa sengaja bertemu dengan sesosok manusia berambut hitam pekat terurai hingga punggungnya di taman sekolah. Kulitnya coklat sawo agak matang, matanya hitam kecoklatan, perawakannya cukup semampai, dan rupanya cantik jelita bak Juwita Bahar. Ternyata ia adalah adik kelasnya. Mungkin karena hal itu, maka Radenzul tidak yerlalu mengenalnya. Secara tegak lurus dari lintasan setapaknya, ia menghampiri gadis muda tersebut yang duduk dengan teman kakak tingkatnya. Dengan nada rendah dan lembut Radenzul menggoda. Gadis muda tersebut hanya membalas dengan senyuman malu sambil menundukan wajahnya. Radenzul lalu melintas sekilas dan langsung meninggalkan. Betapa meriahnya hati Radenzul pada saat itu.

Lima bulan berlalu, kejadian lima bulan silam sudah mulai pudar dari ingatan Radenzul. Tapi tidak bagi si gadis belia yang digodanya lima bulan silam. Dengan langkah pelan sepoi nan anggun, gadis tersebut dengan alasan yang belum diketahui datang ke kelas Radenzul dan mencarinya. Seperti ikan mas yang datang ke sarang piranha, layaknya seekor ikan yang menjemput ajalnya, dan bagaikan sarden yang masuk ke jaring-jaring nelayan, begitulah gadis itu berada. Ia datang ke sarang kakak tingkatnya tanpa ditemani satu orang pun sambil mengetuk pintu yang bertujuan mencari Radenzul. Sebuah kebetulan yang sangat luar biasa, Radenzul ada di kelas dan menghampiri gadis itu. Mereka pun berdua layaknya sejoli yang sedang berbunga duduk berdua di bangku kayu depan kelas Radenzul. Ternyata, maksud kedatangan gadis itu untuk mewawancarainya, karena gadis itu adalah salah seorang anggota jurnalistik dan Radenzul sendiri adalah objek wawancara untuk majalah sekolahnya dalam edisi bulan ini. Wawancara langsung dilakukan, kurang lebih dua puluh menit mereka terlarut dalam pembicaraan tanya jawab yang hangat. Akhirnya, Radenzul menawarkan nomor hpnya kepada gadis itu, harapannya ada pertanyaan yang terlewat dan mereka bisa bersua kembali. Namun faktanya, semua sudah lengkap.


Mereka tidak bertemu kembali. Mereka hanya berpapasan satu sama lain dan saling menunduk. Dalam relung hatinya, Radenzul ingin menemui gadis itu dan menjalin ikatan cinta. Namun apa daya, bagaikan si cebol yang merindukan bulan. Keberaniannya tak sebaik perawakannya. Ia pun hanya mampu memandangnya sedekat gambar di salah satu akun media sosialnya. Begitu pula sang gadis. Hingga sampai waktu kelulusan tiba bagi Radenzul, kasih antara mereka hanya sebatas papasan semu.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review