November 30, 2014

Analisis Cerita Ulang Rawa Pening - Danau Tiga Warna

Rawa Pening
            Pada suatu hari, hiduplah sepasang suami istri yang sangat baik, pemurah, dan senang menolong. Mereka adalah Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di sebuah lembah, di antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Mereka sangat disegani dan dihormati oleh warga kampungnya.  Sayangnya, nasib mereka sungguh malang. Meskipun sudah lama menikah, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Walaupun demikian, mereka tetap hidup dalam kerukunan dan kehangatan keluarga tetap mereka dapatkan.
            Setelah sekian lama mereka hidup berdua, tiba-tiba Nyai Selakanta termenung sedih. Ia meminta Ki Hajar untuk bertapa di Gunung Telomoyo. Ia meminta suaminya bertapa agar mereka cepat mendapatkan keturunan. Lalu pergilah Ki Hajar untuk bertapa di Gunung Telomoyo. Di sana, Ki Hajar bertapa dan menyampaikan keinginannya untuk mendapatkan keturunan. Di rumah, Nyai Selakanta kembali cemas menunggu kedatangan suaminya. Maklum, sudah berbulan-bulan bertapa suaminya tak kunjung pulang. Tiba-tiba perut Nyai Selakanta terasa mual dan ia merasa tidak enak badan. Ia merasa bahwa dirinya telah hamil. Ternyata benar, ia telah mengandung seorang anak. Betapa bahagianya dirinya saat itu. Selama kehamilan Nyai Selakanta hanya seorang diri di rumah. Suaminya tak kunjung pulang karena masih bertapa.
            Akhirnya waktu kelahiran tiba. Nyai Selakanta sangat terkejut mendapati anak yang dilahirkannya bukanlah seorang putra manusia, melainkan seekor naga. Meski demikian, Nyai Selakanta tetap bersyukur meski sedikit kecewa karena anak yang dilahirkannya bukanlah seorang manusia. Kemudian, diberikanlah sebuah nama pada anak itu yaitu “Baru Klinthing”. Baru Klinthing adalah nama pusaka sakti ayahnya yang ada di rumah. Baru berasal dari kata “bra” yang berarti Brahmana, resi dengan kedudukan tinggi di atas pendeta. Klinthing berarti lonceng. Nyai Selakanta pun menutupi kelahiran anaknya yang berupa naga dari masyarakat karena takut akan dihina.  Nyai Selakanta pun merencanakan akan mengasingkan Baru Klinthing di bukit Tugur, namun ia akan membesarkan Baru Klinthing terlebih dahulu hingga remaja. Dengan cintanya, Nyai Selakanta membesarkan Baru Klinthing dengan diam-diam. Ajaibnya, meskipun Baru Klinthing adalah seekor naga, namun ia dapat berbicara seperti manusia. Saat Baru Klinthing menginjak masa remajanya, tiba-tiba ia menanyakan siapakah ayahnya. Nyai Selakanta pun terkejut atas pertanyaannya. Hingga saat ini suaminya belum kunjung pulang dari pertapaannya. Nyai Selakanta pun meminta Baru Klinthing untuk menyusul ayahnya yang sedang bertapa dengan membekalinya pusaka Baru Klinthing milik ayahnya sebagai bukti bahwa ia adalah anaknya.
            Setibanya di Gunung Telomoyo, Baru Klinthing mendapati seorang tua sedang bertapa di dalam gua di gunung itu. Ki Hajar pun mendengar suara pengusik yang sedikit mengganggu saat ia bertapa. Ki Hajar terkejut ketika melihat seekor naga dapat berbicara. Lalu bertanyalah ia kepada Baru Klinthing siapakah dirinya. Baru Klinthing pun menjawab bahwa ia adalah anaknya. Semakin terkejut Ki Hajar atas jawaban Baru Klinthing. Baru Klinthing langsung menunjukkan bukti pusaka milik ayahnya untuk meyakinkan bahwa ia memang benar-benar anaknya. Ki Hajar pun mulai sedikit percaya, namun ia belum sepenuhnya percaya. Ia memerintahkan Baru Klinthing untuk melingkari Gunung Telomoyo sebagai bukti bahwa ia adalah anaknya. Baru Klinthing pun menuruti permintaan ayahnya. Dengan kekuatan ajaibnya, ia pun melingkari Gunung Telomoyo. Kemudian, barulah Ki Hajar percaya bahwa ia adalah anaknya. Belum cukup untuk membuat Ki Hajar puas, ia pun meminta Baru Klinthing agar bertapa meminta supaya wujudnya bisa menjadi seperti manusia dengan melingkari gunung itu. Sampai waktu yang lama, Baru Klinthing masih bertapa melingkari gunung itu.
            Sementara itu, tak jauh dari tempat Baru Klinthing bertapa, terdapat sebuah desa bernama Pathok. Warga desa ini sangat angkuh. Ketika itu warga desa akan melaksanakan kegiatan bersih desa dan pesta sebagai wujud syukur atas panen yang telah diterima. Sayangnya, warga desa tidak menemukan hewan untuk diburu sebagai jamuan pesta. Kemudian pergilah seluruh warga mencari hewan buruan hingga akhirnya waga menemukan seekor naga besar yang sedang bertapa melingkari gunung. Warga berbondong-bondong memotong naga itu dan membawanya ke desa untuk disajikan pada acara pesta. Tiba-tiba ditengah keramaian pesta, datang seorang anak dengan banyak luka di tubuhnya dengan darah yang mengalir dan bau amis. Anak itu tak lain tak bukan adalah jelmaan dari Baru Klinthing. Ia datang dan meminta pada warga sedikit makanan untuk disantap karena ia kelaparan. Kejamnya, tak satupun warga mau memberikan makanan kepadanya dan malah mengejek lalu mengusirnya. Baru Klinthing pun berjalan  meninggalkan desa itu. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang nenek bernama Nyi Lenthung. Nyi Lenthung pun membawa Baru Klinthing ke gubuknya dan memberikan makanan. Baru Klinthing terkagum pada Nyi Lenthung karena masih ada orang baik di desa itu. Ternyata Nyi Lenthung juga tidak dianggap di desa itu karena ia kumuh. Mengetahui hal tersebut, Baru Klinthing geram dan berniat untuk memberi pelajaran pada warga desa itu. Kemudian Baru Klinthing kembali datang ke pesta itu sambil menantang warga untuk mencabut lidi yang ada didekatnnya. Semua warga meremehkannya. Mulai dari anak-anak bahkan pria dewasa tidak mampu mencabut lidi itu. Akhirnya Baru Klinthing dengan mudah mencabut lidi itu. Seketika itu, suara gemuruh terdengar dan keluarlah air dari lubang bekas lidi itu menancap. Lama-kelamaan air itu memenuhi desa dan menenggelamkan desa. Meskipun demikian, Nyi Lenthung tetap selamat dan Baru Klinthing menjelma kembali menjadi naga untuk menjaga desa yang tenggelam itu yang kini disebut Rawa Pening.


Danau Tiga Warna
Dahulu di puncak Gunung Kelimutu, Bhua Ria, hiduplah Konde Ratu dengan rakyatnya. Pada masa itu terdapat dua tokoh yang disegani, baik karena kemurahan hatinya maupun kejahatannya. Mereka adalah Ata Polo, si penyihir jahat, dan Ata Bupu, si penyihir baik. Mereka berdua memiliki kekuatan yang sangat kuat. Meskipun demikian, mereka berdua berteman baik dan taat pada Konde Ratu. Ata Bupu lebih dikenal sebagai petani dan Ata Polo sangat gemar memangsa manusia di seluruh jagat raya.
Saat itu Bhua Ria sangat tenang dan tentram. Tiba-tiba sepasang Ana Kalo datang kepada Ata Bupu untuk meminta perlindungan. Mereka ditinggal orang tua mereka ke alam baka. Kemurahan hati Ata Bupu membuatnya memenuhi permintaan sepasang anak itu. Kemudian Ata Bupu meminta satu syarat agar dipatuhi oleh mereka. Ia meminta agar anak-anak itu tidak meninggalkan daerah ladang milik Ata Bupu.
Suatu hari Ata Polo mengunjungi Ata Bupu. Tiba-tiba ia mencium aroma sangat menarik di tempat tinggal Ata Bupu. Ternyata itu adalah aroma sepasang Ana Kalo. Ata Polo dengan sigap ingin menerkam anak-anak itu, namun Ata Bupu dengan cepat menghadang Ata Polo agar menjauhi anak-anak itu. Ata Bupu berusaha melindungi kedua anak itu dengan cara menjanjikan kepada Ata Polo agar kembali lagi menemui anak-anak itu ketika mereka sudah remaja karena daging mereka belum cukup enak untuk dimakan. Anak-anak itu ketakutan bukan kepalang. Searah dengan jalannya waktu, Ata Bupu terus mencari ide untuk menyembunyikan anak-anak itu.
Kini kedua anak itu telah bertumbuh menjadi Ko’ofai dan Nuwa Muri. Hingga saat ini mereka belum juga mendapatkan tempat persembunyian. Akhirnya mereka meminta izin kepada Ata Bupu untuk mencari persembunyian mereka sendiri. Akhirnya mereka bersembunyi pada gua yang tertutup oleh akar rotan dan akar beringin.
Saat yang ditunggu oleh Ata Polo tiba. Ia mendatangi Ata Bupu untuk menagih janji. Sayangnya Ata Polo mendapati bahwa anak-anak itu telah pergi. Ata Bupu enggan menjawab di mana anak itu berada. Akhirnya murka Ata Polo membara. Mereka berdua berperang satu sama lain dengan kekuatan dahsyat mereka. Awalnya tidak ada yang menang dan kalah, melainkan seimbang. Lama kelamaan tenaga Ata Bupu melemah karena kini ia sudah tua. Ia hanya menjauhi serangan melalui gempa bumi yang dibuatnya. Geram dengan hal itu, Ata Polo semakin menjadi. Akibatnya, gempa bumi dan kebakaran besar terjadi hingga kaki Gunung Kelimutu. Meskipun demikian, perang terus berlanjut. Ata Bupu tak dapat menahan lagi serangan dari Ata Polo. Akhirnya ia memilih untuk raib ke perut bumi. Ata Polo kini semakin menggila dan murka.
Setelah itu, tiba-tiba saja Ata Polo mencium aroma kedua anak itu. Tak hanya murka besar, Ata Polo terlihat menjadi beringas. Ia tak sabar untuk melahap kedua anak itu. Untungnya takdir berkata lain. Ata Polo tiba-tiba jatuh masuk ke bumi. Kedua remaja itu pula ikut terjatuh dan terkuburlah mereka hidup-hidup.
Beberapa saat setelah kejadian itu, tempat Ata Bupu raib ke bumi berubah menjadi danau berwarna biru. Lalu muncul kembali danau berwarna merah darah di tempat Ata Polo mati. Tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri juga terbentuk sebuah danau berwarna hijau tenang.
Kini danau berwarna biru itu dijuluki Tiwu Ata Mbupu, dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah tetua, untuk danau berwarna merah disebut Tiwu Ata Polo, tempat berkumpulnya arwah-arwah penenung, dan danau berwarna hijau dinamakan Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai dimana arwah muda-mudi tinggal.

  • Catatan            :

·         Bhua Ria                                  hutan lebat yang selalu berawan
·         Ana Kalo                                  :  anak yatim piatu
·         Ko’ofai dan Nuwa Muri           gadis muda dan pemuda


Analisis Cerita Ulang :
  • ·         Persamaan :

Kedua cerita di atas memiliki persamaan pokok yang menceritakan terjadinya sebuah danau. Danau-danau di atas, menurut cerita terbentuk akibat dipicu konflik antar tokoh dalam cerita. Meskipun demikian, unsur imajinatif sangat ditonjolkan pada kedua cerita di atas. Tak hanya itu, unsur magis juga sangat mencolok. Selain itu, kedua cerita di atas mengambil acuan latar yang sama yaitu di sekitar gunung.
  • ·         Perbedaan :

Tokoh pada cerita Rawa Pening lebih kompleks dibandingkan dengan tokoh pada cerita Danau Tiga Warna. Terbukti dari masalah-masalah yang terjadi. Permasalahan terjadi tidak hanya melibatkan satu atau dua tokoh saja, namun lebih. Pada cerita Danau Tiga Warna, permasalahan terfokus pada beberapa tokoh saja. Tokoh utama pada kedua cerita di atas juga berbeda. Rawa Pening menggunakan naga sebagai tokoh utamanya. Danau Tiga Warna menggunakan manusia sebagai tokoh utamanya. Dilihat dari diksi yang digunakan, Cerita ulang Rawa Pening tidak banyak menggunakan istilah-istilah daerah. Berbeda dengan cerita ulang Danau Tiga Warna yang banyak menunjukkan istilah-istilah daerah untuk menyebutkan keadaan-keadaan tokoh maupun latar. Berkaitan dengan hal itu, cerita Rawa Pening menunjukkan unsur budaya khas  yang ditunjukkan pada perayaan panen. Pada cerita Danau Tiga Warna menunjukkan ciri budaya melalui cerita-cerita magis yang ada dalam cerita.  Dari segi asal mula cerita, Rawa Pening berasal dari Jawa Tengah dan Danau Tiga Warna berasal dari Nusa Tenggara Timur. Selain itu cerita ulang Rawa Pening kurang menceritakan tokoh-tokoh penting di awal cerita seperti Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Tokoh-tokoh itu hanya berlalu begitu saja ketika mendekati klimaks dan hilang saat klimaks hingga akhir cerita.  Untuk cerita ulang Danau Tiga Warna, tokoh-tokoh yang diceritakan secara detil pada awal cerita, terus diceritakan dan memiliki kesinambungan hingga akhir cerita. Lalu, tokoh utama pada cerita Rawa Pening tewas dengan cara yang tragis, namun tetap berperan hingga akhir cerita dengan wujud jelmaan seorang anak dan naga. Pada cerita Danau Tiga Warna tidak semua tokoh utama tewas, melainkan ada satu tokoh yang hanya menghilang ke dalam bumi, namun tidak diceritakan bagaimana kelanjutannya apakah tokoh itu tewas atau tidak.


1 komentar:

AngPut said...

(legenda rawa pening / baru klinthing)
.
.
bagaimana nasib Ki Hajar dan Istrinya di akhir cerita?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review