Rawa Pening
Pada suatu hari, hiduplah sepasang
suami istri yang sangat baik, pemurah, dan senang menolong. Mereka adalah Ki
Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di sebuah lembah, di antara Gunung
Merbabu dan Telomoyo. Mereka sangat disegani dan dihormati oleh warga
kampungnya. Sayangnya, nasib mereka
sungguh malang. Meskipun sudah lama menikah, mereka belum juga dikaruniai
seorang anak. Walaupun demikian, mereka tetap hidup dalam kerukunan dan
kehangatan keluarga tetap mereka dapatkan.
Setelah sekian lama mereka hidup
berdua, tiba-tiba Nyai Selakanta termenung sedih. Ia meminta Ki Hajar untuk
bertapa di Gunung Telomoyo. Ia meminta suaminya bertapa agar mereka cepat
mendapatkan keturunan. Lalu pergilah Ki Hajar untuk bertapa di Gunung Telomoyo.
Di sana, Ki Hajar bertapa dan menyampaikan keinginannya untuk mendapatkan
keturunan. Di rumah, Nyai Selakanta kembali cemas menunggu kedatangan suaminya.
Maklum, sudah berbulan-bulan bertapa suaminya tak kunjung pulang. Tiba-tiba
perut Nyai Selakanta terasa mual dan ia merasa tidak enak badan. Ia merasa
bahwa dirinya telah hamil. Ternyata benar, ia telah mengandung seorang anak.
Betapa bahagianya dirinya saat itu. Selama kehamilan Nyai Selakanta hanya
seorang diri di rumah. Suaminya tak kunjung pulang karena masih bertapa.
Akhirnya waktu kelahiran tiba. Nyai
Selakanta sangat terkejut mendapati anak yang dilahirkannya bukanlah seorang
putra manusia, melainkan seekor naga. Meski demikian, Nyai Selakanta tetap
bersyukur meski sedikit kecewa karena anak yang dilahirkannya bukanlah seorang
manusia. Kemudian, diberikanlah sebuah nama pada anak itu yaitu “Baru
Klinthing”. Baru Klinthing adalah nama pusaka sakti ayahnya yang ada di rumah.
Baru berasal dari kata “bra” yang berarti Brahmana, resi dengan kedudukan
tinggi di atas pendeta. Klinthing berarti lonceng. Nyai Selakanta pun menutupi
kelahiran anaknya yang berupa naga dari masyarakat karena takut akan
dihina. Nyai Selakanta pun merencanakan
akan mengasingkan Baru Klinthing di bukit Tugur, namun ia akan membesarkan Baru
Klinthing terlebih dahulu hingga remaja. Dengan cintanya, Nyai Selakanta
membesarkan Baru Klinthing dengan diam-diam. Ajaibnya, meskipun Baru Klinthing
adalah seekor naga, namun ia dapat berbicara seperti manusia. Saat Baru
Klinthing menginjak masa remajanya, tiba-tiba ia menanyakan siapakah ayahnya.
Nyai Selakanta pun terkejut atas pertanyaannya. Hingga saat ini suaminya belum
kunjung pulang dari pertapaannya. Nyai Selakanta pun meminta Baru Klinthing
untuk menyusul ayahnya yang sedang bertapa dengan membekalinya pusaka Baru
Klinthing milik ayahnya sebagai bukti bahwa ia adalah anaknya.
Setibanya di Gunung Telomoyo, Baru
Klinthing mendapati seorang tua sedang bertapa di dalam gua di gunung itu. Ki
Hajar pun mendengar suara pengusik yang sedikit mengganggu saat ia bertapa. Ki
Hajar terkejut ketika melihat seekor naga dapat berbicara. Lalu bertanyalah ia
kepada Baru Klinthing siapakah dirinya. Baru Klinthing pun menjawab bahwa ia
adalah anaknya. Semakin terkejut Ki Hajar atas jawaban Baru Klinthing. Baru
Klinthing langsung menunjukkan bukti pusaka milik ayahnya untuk meyakinkan
bahwa ia memang benar-benar anaknya. Ki Hajar pun mulai sedikit percaya, namun
ia belum sepenuhnya percaya. Ia memerintahkan Baru Klinthing untuk melingkari
Gunung Telomoyo sebagai bukti bahwa ia adalah anaknya. Baru Klinthing pun
menuruti permintaan ayahnya. Dengan kekuatan ajaibnya, ia pun melingkari Gunung
Telomoyo. Kemudian, barulah Ki Hajar percaya bahwa ia adalah anaknya. Belum
cukup untuk membuat Ki Hajar puas, ia pun meminta Baru Klinthing agar bertapa
meminta supaya wujudnya bisa menjadi seperti manusia dengan melingkari gunung
itu. Sampai waktu yang lama, Baru Klinthing masih bertapa melingkari gunung
itu.
Sementara itu, tak jauh dari tempat
Baru Klinthing bertapa, terdapat sebuah desa bernama Pathok. Warga desa ini
sangat angkuh. Ketika itu warga desa akan melaksanakan kegiatan bersih desa dan
pesta sebagai wujud syukur atas panen yang telah diterima. Sayangnya, warga
desa tidak menemukan hewan untuk diburu sebagai jamuan pesta. Kemudian pergilah
seluruh warga mencari hewan buruan hingga akhirnya waga menemukan seekor naga
besar yang sedang bertapa melingkari gunung. Warga berbondong-bondong memotong
naga itu dan membawanya ke desa untuk disajikan pada acara pesta. Tiba-tiba
ditengah keramaian pesta, datang seorang anak dengan banyak luka di tubuhnya
dengan darah yang mengalir dan bau amis. Anak itu tak lain tak bukan adalah
jelmaan dari Baru Klinthing. Ia datang dan meminta pada warga sedikit makanan
untuk disantap karena ia kelaparan. Kejamnya, tak satupun warga mau memberikan
makanan kepadanya dan malah mengejek lalu mengusirnya. Baru Klinthing pun
berjalan meninggalkan desa itu. Di
tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang nenek bernama Nyi Lenthung. Nyi
Lenthung pun membawa Baru Klinthing ke gubuknya dan memberikan makanan. Baru
Klinthing terkagum pada Nyi Lenthung karena masih ada orang baik di desa itu.
Ternyata Nyi Lenthung juga tidak dianggap di desa itu karena ia kumuh.
Mengetahui hal tersebut, Baru Klinthing geram dan berniat untuk memberi
pelajaran pada warga desa itu. Kemudian Baru Klinthing kembali datang ke pesta
itu sambil menantang warga untuk mencabut lidi yang ada didekatnnya. Semua
warga meremehkannya. Mulai dari anak-anak bahkan pria dewasa tidak mampu
mencabut lidi itu. Akhirnya Baru Klinthing dengan mudah mencabut lidi itu.
Seketika itu, suara gemuruh terdengar dan keluarlah air dari lubang bekas lidi
itu menancap. Lama-kelamaan air itu memenuhi desa dan menenggelamkan desa.
Meskipun demikian, Nyi Lenthung tetap selamat dan Baru Klinthing menjelma
kembali menjadi naga untuk menjaga desa yang tenggelam itu yang kini disebut
Rawa Pening.
Danau
Tiga Warna
Dahulu
di puncak Gunung Kelimutu, Bhua Ria,
hiduplah Konde Ratu dengan rakyatnya. Pada masa itu terdapat dua tokoh yang
disegani, baik karena kemurahan hatinya maupun kejahatannya. Mereka adalah Ata
Polo, si penyihir jahat, dan Ata Bupu, si penyihir baik. Mereka berdua memiliki
kekuatan yang sangat kuat. Meskipun demikian, mereka berdua berteman baik dan
taat pada Konde Ratu. Ata Bupu lebih dikenal sebagai petani dan Ata Polo sangat
gemar memangsa manusia di seluruh jagat raya.
Saat
itu Bhua Ria sangat tenang dan
tentram. Tiba-tiba sepasang Ana Kalo
datang kepada Ata Bupu untuk meminta perlindungan. Mereka ditinggal orang tua
mereka ke alam baka. Kemurahan hati Ata Bupu membuatnya memenuhi permintaan
sepasang anak itu. Kemudian Ata Bupu meminta satu syarat agar dipatuhi oleh
mereka. Ia meminta agar anak-anak itu tidak meninggalkan daerah ladang milik
Ata Bupu.
Suatu
hari Ata Polo mengunjungi Ata Bupu. Tiba-tiba ia mencium aroma sangat menarik
di tempat tinggal Ata Bupu. Ternyata itu adalah aroma sepasang Ana Kalo. Ata Polo dengan sigap ingin
menerkam anak-anak itu, namun Ata Bupu dengan cepat menghadang Ata Polo agar
menjauhi anak-anak itu. Ata Bupu berusaha melindungi kedua anak itu dengan cara
menjanjikan kepada Ata Polo agar kembali lagi menemui anak-anak itu ketika
mereka sudah remaja karena daging mereka belum cukup enak untuk dimakan.
Anak-anak itu ketakutan bukan kepalang. Searah dengan jalannya waktu, Ata Bupu
terus mencari ide untuk menyembunyikan anak-anak itu.
Kini
kedua anak itu telah bertumbuh menjadi Ko’ofai
dan Nuwa Muri. Hingga saat ini mereka
belum juga mendapatkan tempat persembunyian. Akhirnya mereka meminta izin
kepada Ata Bupu untuk mencari persembunyian mereka sendiri. Akhirnya mereka
bersembunyi pada gua yang tertutup oleh akar rotan dan akar beringin.
Saat
yang ditunggu oleh Ata Polo tiba. Ia mendatangi Ata Bupu untuk menagih janji.
Sayangnya Ata Polo mendapati bahwa anak-anak itu telah pergi. Ata Bupu enggan
menjawab di mana anak itu berada. Akhirnya murka Ata Polo membara. Mereka
berdua berperang satu sama lain dengan kekuatan dahsyat mereka. Awalnya tidak
ada yang menang dan kalah, melainkan seimbang. Lama kelamaan tenaga Ata Bupu
melemah karena kini ia sudah tua. Ia hanya menjauhi serangan melalui gempa bumi
yang dibuatnya. Geram dengan hal itu, Ata Polo semakin menjadi. Akibatnya,
gempa bumi dan kebakaran besar terjadi hingga kaki Gunung Kelimutu. Meskipun
demikian, perang terus berlanjut. Ata Bupu tak dapat menahan lagi serangan dari
Ata Polo. Akhirnya ia memilih untuk raib ke perut bumi. Ata Polo kini semakin
menggila dan murka.
Setelah
itu, tiba-tiba saja Ata Polo mencium aroma kedua anak itu. Tak hanya murka
besar, Ata Polo terlihat menjadi beringas. Ia tak sabar untuk melahap kedua
anak itu. Untungnya takdir berkata lain. Ata Polo tiba-tiba jatuh masuk ke
bumi. Kedua remaja itu pula ikut terjatuh dan terkuburlah mereka hidup-hidup.
Beberapa
saat setelah kejadian itu, tempat Ata Bupu raib ke bumi berubah menjadi danau
berwarna biru. Lalu muncul kembali danau berwarna merah darah di tempat Ata
Polo mati. Tempat persembunyian Ko’ofai dan
Nuwa Muri juga terbentuk sebuah danau
berwarna hijau tenang.
Kini
danau berwarna biru itu dijuluki Tiwu Ata
Mbupu, dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah tetua, untuk danau berwarna
merah disebut Tiwu Ata Polo, tempat
berkumpulnya arwah-arwah penenung, dan danau berwarna hijau dinamakan Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai dimana arwah
muda-mudi tinggal.
- Catatan :
·
Bhua Ria : hutan lebat yang selalu
berawan
·
Ana Kalo : anak yatim
piatu
·
Ko’ofai dan Nuwa Muri : gadis muda
dan pemuda
Analisis Cerita Ulang :
- · Persamaan :
Kedua
cerita di atas memiliki persamaan pokok yang menceritakan terjadinya sebuah
danau. Danau-danau di atas, menurut cerita terbentuk akibat dipicu konflik
antar tokoh dalam cerita. Meskipun demikian, unsur imajinatif sangat
ditonjolkan pada kedua cerita di atas. Tak hanya itu, unsur magis juga sangat
mencolok. Selain itu, kedua cerita di atas mengambil acuan latar yang sama
yaitu di sekitar gunung.
- · Perbedaan :
Tokoh
pada cerita Rawa Pening lebih
kompleks dibandingkan dengan tokoh pada cerita Danau Tiga Warna. Terbukti dari masalah-masalah yang terjadi.
Permasalahan terjadi tidak hanya melibatkan satu atau dua tokoh saja, namun
lebih. Pada cerita Danau Tiga Warna, permasalahan
terfokus pada beberapa tokoh saja. Tokoh utama pada kedua cerita di atas juga
berbeda. Rawa Pening menggunakan naga
sebagai tokoh utamanya. Danau Tiga Warna menggunakan
manusia sebagai tokoh utamanya. Dilihat dari diksi yang digunakan, Cerita ulang
Rawa Pening tidak banyak menggunakan
istilah-istilah daerah. Berbeda dengan cerita ulang Danau Tiga Warna yang banyak menunjukkan istilah-istilah daerah
untuk menyebutkan keadaan-keadaan tokoh maupun latar. Berkaitan dengan hal itu,
cerita Rawa Pening menunjukkan unsur
budaya khas yang ditunjukkan pada
perayaan panen. Pada cerita Danau Tiga
Warna menunjukkan ciri budaya melalui cerita-cerita magis yang ada dalam
cerita. Dari segi asal mula cerita, Rawa Pening berasal dari Jawa Tengah dan
Danau Tiga Warna berasal dari Nusa
Tenggara Timur. Selain itu cerita ulang Rawa
Pening kurang menceritakan tokoh-tokoh penting di awal cerita seperti Ki Hajar
dan Nyai Selakanta. Tokoh-tokoh itu hanya berlalu begitu saja ketika mendekati
klimaks dan hilang saat klimaks hingga akhir cerita. Untuk cerita ulang Danau Tiga Warna, tokoh-tokoh yang diceritakan secara detil pada
awal cerita, terus diceritakan dan memiliki kesinambungan hingga akhir cerita. Lalu,
tokoh utama pada cerita Rawa Pening tewas
dengan cara yang tragis, namun tetap berperan hingga akhir cerita dengan wujud
jelmaan seorang anak dan naga. Pada cerita Danau
Tiga Warna tidak semua tokoh utama tewas, melainkan ada satu tokoh yang
hanya menghilang ke dalam bumi, namun tidak diceritakan bagaimana kelanjutannya
apakah tokoh itu tewas atau tidak.
1 komentar:
(legenda rawa pening / baru klinthing)
.
.
bagaimana nasib Ki Hajar dan Istrinya di akhir cerita?
Post a Comment