Lima tahun lalu, sejak saat aku menulis cerita ini pernah
terjadi suatu kejadian memalukan dalam hidupku. Tepatnya hal ini terjadi saat
aku duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Saat itu bulan ramadhan, di mana
mayoritas umat muslim menjalankan ibadah puasa, dan sisanya ikut menyemarakkan
momen-momen berharga tersebut. Tak berbeda denganku, meskipun aku tidak
merayakan, namun aku ikut menikmati saat-saat berharga dalam bulan itu.
Tepatnya ketika aku berada di kota kelahiranku, Klaten.
Pada saat itu, buka bersama adalah suatu hal yang luar biasa
bagi anak-anak sekolah dasar, terlebih belum banyak anak-anak seusiaku, entah
hanya di kotaku yang kampung atau memang di semua kota, yang mengadakan acara
seperti itu. Aku sedikit lupa tentang siapa yang mencetuskan ide itu di kelas,
yang pasti, sebelum kami menemukan kesepakatan lokasi dan biaya iuran aku
bersama beberapa ornag temanku telah melakukan musyawarah bersama teman
sekelas. Akhirnya, keputusan di dapat. Kami menyetujui untuk berbuka bersama di
Restoran X, dengan nominal iuran tiga puluh ribu. Ada segelintir anak yang
tidak menyetujui dan tidak menyanggupi untuk datang. Kami pun mencatat
siapa-saiapa saja yang setuju dan akan datang. Kurang lebih tiga per lima siswa
sekelas bersedia datang, sekitar tiga puluhan anak. Bagiku pada waktu itu,
pilihan tersebut terlalu mewah bagi anak-anak seusiaku, terlebih kami belum
mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Kami hanya bisa mengatungkan tangan kami
melalui belas kasihan orang tua yang bekerja.
Hari terus saja berjalan dan terbentuklah sebuah panitia
kecil secara tidak formal untuk menyelenggarakan kegiatan itu. Aku termasuk
salah satunya. Rasa bangga seakan
mengikuti kami siang dan malam, tak peduli hujan maupun terang untuk menyambut
acara itu. Di tempat bimbingan belajar, beberapa dari kami asyik membahas dan
membayangkan acara yang akan digelar. Bahkan, doorprize juga kami persiapkan.
Jujur saja, saat itu acara kami selenggarakan tanpa campur tangan orang tua.
Kami berjalan sendiri mengikuti aliran suasana dan keadaan.
Hari yang di tunggu-tunggu semakin dekat, kami mulai
menyalurkan biaya iuran kepada salah seorang temanku. Aku sudah melunasi iuran,
namun sebagian lainnya masih separuh dan sebagian lagi baru membayar iuran
dengan mulut manis. Aku dan salah seorang temanku merasa uang yang terkumpul
sudah cukup untuk membayar tanda jadi di restoran tersebut. Bergegaslah temanku
ke restoran itu dan memilih paket menu untuk acara kami. Lalu, keputusan jatuh
pada salah satu paket prasmanan dengan harga kisaran itu, dengan minum jus
alpukat. Sungguh menarik memang. Dengan rasa bangga dan bahagia, temanku yang
telah memesan bercerita kepadaku dan aku pun gembira mendengarnya.
Buka bersama akhirnya telah tiba. Susunan acara dan lain-lain
telah ku siapkan. Aku pun mengayuh sepeda merahku yang masih mengkilat cerah
menuju restoran tersebut. Kumasuki gapura restoran itu dan ku lihat wajah suram
mengiringi salah seorang temanku yang kemarin memesan menu. Ia dengan panik
bercerita kepadaku, bahwa banyak teman-teman yang tadi baru memberikan
janji-janji akan datang lalu mendadak tidak bisa hadir tanpa memberikan uang
sepeserpun. Uang kami pun kurang untuk membayar tagihan restoran, bahkan kami
telah mengubah menu minuman menjadi es teh, namun masih kurang saja uang kami.
Kami hanya memiliki empat ratus ribu, sedangkan tagihan kami sekitar satu juta.
Panik kami bukan kepalang, semua anak yang hadir ku tanya apakah ia membawa
uang lebih atau tidak. Semua yang membawa uang lebih diminta dengan sukarela
untuk menghutangi terlebih dahulu. Semua teman yang tadinya tidak bersedia
hadir ku hubungi lewat telepon. Sebagian bisa hadir, sebagian tidak. Bahkan,
aku akhirnya menghubungi guru-guru sambil menceritakan kejadian itu. Guruku
kaget bukan kepalang, meskipun begitu guru-guru tetap tidak datang karena
sedang di luar kota. Akhirnya, beberapa teman ku mengajak keluarganya untuk
ikut buka bersama dengan kami, namun tetap setiap orang diminta untuk membayar
sesuai tagihan. Lalu, kami makan dengan gembira dan kelegaan.
Akhirnya, masalah di restoran selesai. Uang pembayaran
tercukupi dan makanan sisa cukup banyak.
Tak berapa lama setelah kejadian itu, saat di sekolah wali
kelasku yang ku undang untuk hadir ke acara buka bersama itu meminta penjelasan
dariku soal kejadian itu. Namanya Bu Eny. Aku masih mengingatnya hingga kini.
Tak seperti biasanya, Bu Eny terbawa emosi dan memarahi kami atas kejadian itu
karena beberapa dari kami tidak bertanggung jawab dan tidak memenuhi janji
untuk datang. Akhirnya Bu Eny meminta anak-anak yang sudah berjanji datang,
tetapi tidak datang untuk membayar iuran. Maka, lunaslah hutang-hutang kepada
teman-teman. Dari situ, aku belajar bagaimana mengadakan suatu kegiatan dengan
benar dan tepat. Sejak saat itu pula, ketika aku berada di SMP, aku tidak takut
lagi akan kekurangan uang untuk membayar karena pengalaman telah mengajariku.
Semenjak kejadian itu pula, setiap kali kami mengadakan kumpul bersama
teman-teman sekolah dasar dan menyinggung masalah itu kami tertawa terbahak
karena itu adalah kenangan kami yang luar biasa semasa sekolah dasar.
0 komentar:
Post a Comment