August 27, 2011

Ironi Pom Bensin

Pom bensin di bawah jembatan Semanggi telah dibongkar tahun lalu, dan lahannya dikembalikan sebagai taman. Semanggi pun makin hijau dan mestinya makin diminati burung — sebab pohon yang ditanam di bekas pom bensin itu banyak yang berbiji seperti beringin dan mahoni.

Pembongkaran pom bensin di Semanggi, bersama dengan sejumlah pom bensin lainnya di Jakarta Selatan, memang ditujukan guna menambah ruang terbuka hijau di ibu kota ini.

Tetapi ironisnya, banyak pom bensin baru yang justru bermunculan di lingkungan perumahan.

Beberapa pom bensin baru ini menimbulkan masalah sebab ditolak masyarakat. Misalnya, pom bensin yang sedang dibangun di depan halte busway Kedoya Assiddiqiyah, Jakarta Barat.

Warga setempat menyatakan keberatan mereka sejak 20 Juni 2010 melalui pertemuan dan surat ke berbagai pihak — antara lain Wali Kota Jakarta Barat, PT Total Oil Indonesia (pemilik pom bensin), serta dinas terkait. Tetapi tidak ada tanggapan.

Tiba-tiba izin mendirikan bangunan terbit pada 25 Maret 2011 tanpa persetujuan warga. Ini berarti, peraturan Mendagri No 27/2009 telah dilanggar (sebab IMB tak boleh terbit bila warga tak setuju).

Sejak 7 Juli 2011, pembangunan pom bensin itu dimulai.

Contoh lain adalah pom bensin Shell di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pada Mei 2010, warga setempat di PTUN memenangkan gugatan terhadap pembangunan pom bensin itu — yang juga dibangun tanpa izin warga.

Di samping itu, gugatan terhadap keberadaan pom bensin juga terjadi di daerah Mangga Besar dan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Ini mengherankan. Mengapa para pengusaha — dan pemerintah — malas menjalani proses pembangunan pom bensin yang benar, dengan mengumpulkan izin warga? Apakah karena mereka merasa lebih produktif dengan memanipulasi dan menyogok?

Jangan-jangan belum ada perencanaan yang mantap di mana sebaiknya pom bensin diletakkan di seluruh kota ini?

Kota memang berkembang terus. Kebutuhan pun meningkat dan beragam. Tapi sebenarnya berapa jumlah pom bensin yang cukup? Mungkin sebentar lagi kita perlu “pom listrik” — untuk mobil dan sepeda motor bertenaga listrik.

Ini tentu menuntut peningkatan kemampuan birokrasi untuk mengantisipasi dan merencanakan secara proaktif. Kalau tidak, akan terus terjadi manipulasi, sogok-menyogok, dan ujung-ujungnya konflik di masyarakat.

Sampai kapan kita mau mengurus kota dengan cara demikian?

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review